BAGAIMANA PERBEDAAN HARI RAYA
a.
Asal Mula Diwajibkannya Puasa
Ramadhan
Ltqalhikmah: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa” (QS: Al Baqoroh: 183).
Dalam ayat ini Allah memanggil orang-orang yang beriman untuk
melaksanakan puasa yaitu menahan dari makan, minum, dan hubungan suami istri
dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Sebagai pembersih jiwa dan mensucikan dari
perbuatan yang tercela dan dimurkai Allah. Dan disebutkan juga bahwa ini
(puasa) diwajibkan kepada kita sebagaimana telah diwajibkan kepada ummat
sebelum kita sebagai teladan yang baik. Dan kita dianjurkan untuk melaksanakan
lebih baik dan sempurna lagi dari pada yang telah dilakukan oleh mereka.
Sebagaimana firman Allah SWT.
“untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (QS: Al Maidah: 48)
Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS:
Al Baqoroh: 183)
Karena puasa didalamnya bisa mensucikan badan dan
menyempitkan jalannya setan masuk ketubuh manusia, sebagaimana yang telah
diseutkan didalam Hadits Nabi :”
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتلزوج ومن لم يستطع
فعليه بالصوم فإنه له وجاء (متفق عليه)
“Wahai para pemuda siapa saja diantara kamu yang sudah mampu
maka menikahlah dan siapa yang belum mampu maka berpuasalah sesunguhnya didalam
puasa itu merupakan penawar (penekan nafsu syahwat)” (HR: Bukhori Muslim)
Dan kewajiban puasa pun tidak setiap hari, agar supaya tidak
memberatkan kepada manusia tetapi pada hari-hari yang telah ditetapkan. Pada
masa permulaan Islam mereka puasa tiga hari setiap bulannya, kemudian puasa itu
dihapus dan diganti dengan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan, yang mana
akan kita bahas berikutnya.
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, ‘atho’,
qotadah dan Dhahhaq:” bahwa pertama kali diwajibkan puasa sebagaimana yang
dilakukan oleh umat sebelumnya yaitu 3 hari setiap bulannya, dan ini
berlangsung diwajibkan dari masa Nabi Nuh AS. Sampai Allah menggantinya dengan
puasa Ramadhan.
Imam Ahmad berkata, berkata Abu Nadhir, berkata As Su’udiy,
berkata Amr Ibu Murroh dari Abdur Rahman Ibnu Abi Laila Dari Mu’adz Ibmu
Jabal R.A, Berkata :”terjadi perubahan dalam shalat 3 kali perubahan, dan
begitu juga puasa juga ada 3 perubahan, sedangkan perubahan yang terjadi dengan
shalat yaitu ketika Nabi SAW, hijrah ke madinah dan beliau Shalat selama 17
Bulan menghadap ke Baitul Maqdis kemudian Allah SWT menurunkan ayat yang
berbunyi:
“sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.”
(QS: AL Baqoroh: 144)
Maka Allah mengganti arah Shalat dari baitul Maqdis ke baitul
Haram (Makkah), ini adalah perubahan arah kiblat.
Dan dikatakan sebelumnya mereka berkumpul untuk Shalat,
mereka memanggil satu sama lain, kemudian mereka menggunakan alat, yaitu
lonceng untuk mengumpulkan mereka, kemudian ada seorang Anshor Abdullah Ibu
Zaid ibnu Tsa’labah ibnu Abi rabbah mendatangi Rosulullah SAW dan berkata
:”wahai Rasulullah .! sesungguhnya saya bermimpi seandaiya bukan dalam mimpi
maka anda akan langsung mempercayainya, saya dalam keadaan antara sadar dan
tidak saya melihat seseorang yang memakai pakaian warna biru dan menghadap kiblat
dan seraya mengucapkan :”Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. ,
Asyhaduallailahaillallah 2 kali.. sampai selesai adzan, kemudian setelah
beberapa waktu berhenti maka dia melanjutkan dengan mengucapkan sebagaimana
yang telah diucapkan sebelumnya hanya saja ditambah denga Qod
qomatishsholah…dua kali. Maka Rosulullah bersabda :”beritahu Bilal dan suruh
dia Adzan dengan itu (lafadz) tersebut) “.
Bilal adalah orang yang pertama melantunkan adzan dengan
lafadz itu, dan dikatakan juga, datang jiga Umar r.a dan berkata, “ya
Rasulullah, telah datang kepada saya seperti yang terjadi padanya, hanya saja
dia telah mendahuluiku”. Inilah perubahan untuk menyeru ummat Muslim
melaksanakan Shalat .
Sedangkan perubahan yang terjadi didalam kewajiban puasa
ketika Rasulullah hijrah ke madinah Rasulullah puasa tiga hari setiap bulannya
dan puasa ‘Asyuro (10 Muharram), kemudian Allah SWT mewajibkan puasa, dengan
firmanNya
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS: Al Baqoroh: 183-184)
Pada waktu turunnya ayat ini siapa yang berhendak puasa maka
mereka puasa dan bagi yang tidak berkehendak maka cukup memberi makan kepada
orang miskin, maka cukuplah memilih diantara keduanya. Keudian Allah menurunkan
ayat selanjutnya yang berbunyi
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS: Al Baqoroh: 185)
Dengan ayat itu maka Allah mewajibkan berpuasa bagi yang
sehat (tidak sakit) dan muqim (tidak dalam perjalanan), dan Allah memberikan
keringanan kepada orang yang sakit dan dalam perjalanan, dan membayar fidyah
bagi orang tua lanjut usia yang tidak mampu lagi berpuasa. Inilah perubahan
dalam puasa.
Diriwayatkan dari Muadz r.a berkata: “ini ayat pertama yang
merupakan perintah bagi siapa yang mau berpuasa, dan yang tidak pusa tidak
mengapa dengan memberikan makan kepada orang miskin setiap hari” dan
diriwayatkan oleh Imam Bukhori, dari salmah bin Al A’wa’ ketika turun ayat ini
mengatakan: siapa yang tidak menginginkan berpusa maka boleh, sampai turun ayat
setelah itu, dan ayat ini di nasakh (di hapus),
Dia berkata: “mereka makan, minum dan mendatangi istri-istri
mereka sebelum mereka tidur, jika sudah tidur maka dilarangnya, kemudian salah
satu orang Ansor (Shormah), suatu ketika dia puasa sampai sore kemudian
mendaangi istrinya, kemudian shalat Isya’ dan kemudian tidur, dan dia tidak
makan ataupun minum sampai pagi dan dilanjutkan dengan puasa pada hari
berikutnya, ketika Rasulullah menjumpainya dengan keadaannya yang sangat
kepayahan, kemudian Rasulullah bersabda: “kenapa saya melihat anda dalam
keadaan payah seperti itu? Maka dia menjawab: “wahai Rasulullah, kemarin saya
puasa dan langsung mendatangi istriku kemudian saya pergi tidur dan paginya
langsung puasa”.
Suatu ketika Umar mendatangi istrinya setelah tidur malam
pada malam bulan Ramadhan, kemudian menceritakan apa yang dilakukannya kepada
Nabi SAW, maka Allah menurunkan firmanNya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan
nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,
(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf[115] dalam
mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS:
Al Baqoroh: 187)
b. Hakikat
Idul Fitri adalah perayaan kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad
Ramadhan.
Jauh sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Jahiliyah Arab ternyata sudah
memiliki dua hari raya, yakni Nairuz dan Mahrajan. Kaum Arab Jahiliyah
menggelar kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora. Selain menari-nari,
baik tarian perang maupun ketangkasan, mereka juga bernyanyi dan menyantap
hidangan lezat serta minuman memabukkan.
‘’Nairuz dan Mahrajan merupakan tradisi hari raya yang berasal dari zaman
Persia Kuno?’’ tulis Ensiklopedi Islam. Setelah turunnya kewajiban
menunaikan ibadah puasa Ramadhan pada 2 Hijriyah, sesuai dengan hadis yang
diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i, Rasulullah SAW bersabda, ‘’Sesungguhnya
Allah mengganti kedua hari raya itu dengan hari raya yang lebih baik, yakni
Idul Fitri dan Idul Adha.’’
Setiap kaum memang memiliki hari raya masing-masing. Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam
Kisah Para Nabi dan Rasul, mengutip sebuah hadis dari Abdullah bin Amar, ‘’Saya
mendengar Rasulullah SAW bersabda: ’’Puasanya Nuh adalah satu tahun penuh,
kecuali hari Idul Fitri dan Idul Adha’.’’ (HR Ibnu Majah).
Jika merujuk pada hadis di atas, maka umat Nabi Nuh AS pun memiliki hari raya.
Sayangnya, kata Ibnu Katsir, hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah itu sanadnya
dhaif. Rasulullah SAW membenarkan bahwa setiap kaum memiliki hari raya.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, pernah memarahi dua wanita
Anshar memukul rebana sambil bernyanyi-nyanyi.
‘’Pantaskah ada seruling setan di rumah, ya Rasulullah SAW?’’ cetus Abu Bakar.
‘’Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar! Karena tiap-tiap kaum mempunyai hari raya,
dan hari ini adalah hari raya kita,’’ sabda Rasulullah SAW.
Hari Raya Idul Fitri untuk pertama kalinya dirayakan umat Islam, selepas Perang
Badar yang terjadi pada 17 Ramadhan 2 Hijiriyah. Dalam pertempuran itu, umat
Islam meraih kemenangan. Sebanyak 319 kaum Muslimin harus berhadapan dengan
1.000 tentara dari kaum kafir Quraisy.
Pada tahun itu, Rasulullah SAW dan para sahabat merayakan dua kemenangan, yakni
keberhasilan mengalahkan kaum kafir dalam Perang Badar dan menaklukkan hawa
nafsu setelah sebulan berpuasa. Menurut sebuah riwayat, Nabi SAW dan para
sahabat menunaikan shalat Id pertama dengan kondisi luka-luka yang masih belum
pulih akibat Perang Badar.
Rasulullah SAW pun dalam sebuah riwayat disebutkan, merayakan Hari Raya Idul
Fitri pertama dalam kondisi letih. Sampai-sampai Nabi SAW bersandar pada Bilal
RA dan menyampaikan khutbahnya.
Menurut Hafizh Ibnu Katsir, pada Hari Raya Idul Fitri yang pertama, Rasulullah
SAW pergi meninggalkan masjid menuju suatu tanah lapang dan menunaikan shalat
Id di atas lapang itu. Sejak itulah, Nabi Muhammad SAW dan para sahabat menunaikan
shalat Id di lapangan terbuka.
Sebelum datangnya Hari Raya Idul Fitri, umat Islam
diwajibkan menunaikan zakat fitrah. Tepat pada 1 Syawal, kaum Muslim disunahkan
melaksanakan shalat Id, baik di lapangan terbuka maupun di masjid, sebanyak dua
rakaat dan kemudian dilanjutkan dengan khutbah.
Hingga kini, Idul Fitri telah dilakukan kaum Muslimin
sebanyak lebih dari 1.432 kali. Di setiap wilayah atau daerah, umat Islam
memiliki tradisi masing-masing untuk merayakan dan mengisi hari raya
itu. Bahkan, di setiap daerah dan Negara, umat Islam memiliki istilah
sendiri untuk menyebut Idul Fitri.
Sejatinya, menurut Prof HM Baharun, hakikat Idul Fitri adalah perayaan
kemenangan iman dan ilmu atas nafsu di medan jihad Ramadhan. Setelah berhasill
menundukkan nafsu, kaum Muslim yang berpuasa di bulan Ramadhan dapat
"kembali ke fitrah" (Idul Fitri), yakni kembali ke asal kejadian.
Semoga. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H.
c.
Sejarah terjadinya idul adha
Terjadinya Sumur Zamzam
Nabi Ibrahim AS menikah untuk kedua kalinya dengan Hajar,
salah seorang pembantu yang berakhlak mulia, atas saran dari istrinya Sarah.
Hal itu karena hingga usia mereka yang semakin lanjut, mereka belum juga
dikaruniai anak. Sementara Nabi Ibrahim berharap bisa memiliki keturunan untuk
meneruskan dakwahnya. Atas izin Alloh, tidak berapa lama kemudian Hajar
mengandung dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Ismail. Nabi Ibrahim
AS sangat bersuka cita. Namun Sarah yang semula begitu menyetujui pernikahan
mereka, merasa cemburu melihat Hajar dapat memberi suaminya seorang putra.
“Kenapa bukan aku?” pikirnya.
Setelah kecemburuannya tak tertahankan lagi, ia meminta
suaminya untuk mengusir Hajar.
“Suamiku, bawalah Hajar dan anaknya Ismail pergi dari sini, aku tidak tahan
melihatnya,” pinta Sarah.
“Tapi, Hajar baru saja melahirkan dan Ismail masih bayi merah, tidak kasihankah
engkau pada mereka?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“Aku tidak dapat menahan kecemburuanku melihat anugerah yang diberikan Alloh
pada Hajar, tolonglah bawa mereka pergi jauh-jauh!” Sarah memohon. Nabi Ibrahim
terdiam. Kemudian turunlah wahyu Alloh yang memerintahkannya untuk membawa
Hajar dan Ismail ke sebuah gurun pasir. Maka ia segera menyiapkan perbekalan
untuk perjalanan mereka. Esoknya berangkatlah ketiga anak beranak ini dari
Palestina menuju gurun pasir yang tandus. Berhari-hari mereka mengarungi gurun
pasir yang tandus dan terik hingga tibalah mereka di suatu tempat yang sekarang
bernama Mekah. Alloh memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan Hajar dan
Ismail di tempat itu.
“Istriku, disinilah aku harus meninggalkan engkau dan Ismail. Sementara aku
harus kembali ke Palestina dan meneruskan dakwahku,” kata Nabi Ibrahim AS.
Mendengar kata-kata suaminya, Hajar
menangis karena ketakutan.
“Suamiku tegakah engkau meninggalkan aku dan anakmu yang baru lahir ini di
padang tandus tak berpenghuni ini?” tangisnya. “Kemana nantinya aku encari
perlindungan?”
“Hajar istriku. Tentu saja berat hatiku meninggalkan kalian berdua di sini.
Tapi ini adalah perintah Alloh. Percayalah pada perlindungan-Nya. InsyaAlloh Ia
akan selalu menolongmu,” kata Nabi Ibrahim AS.
Hajar segera menyadari tugas yang diemban suaminya sebagai Nabi, maka dengan
ikhlas ia merelakan suaminya untuk kembali ke Palestina.
Nabi Ibrahim AS segera memanjatkan doa, memohon perlindungan Alloh untuk anak
dan istrinya, “Ya Alloh lindungilah anak dan istriku dan muliakanlah tanah ini
di kemudian hari.”
Kemudian dengan perasaan berat ia berpamitan kepada Hajar dan mencium kening
Ismail. Sepeninggal Nabi Ibrahim, Hajar terduduk di tengah gurun. Matahari
seolah ingin membakar semua makhluk yang ada di bawahnya. Setan yang senang
menggoda manusia, membisikkan pikiran-pikiran jahat di benak Hajar.
“Hai Hajar. Percayakah engkau dengan yang diucapkan suamimu?
Alloh tidak mungkin memberikan perintah yang kejam. Itu pastilah akal-akalan
suamimu untuk mengusir kalian,” bisiknya.
“Demi Alloh, aku percaya dengan kemuliaan suamiku. Pergilah dari pikiranku!”
Hajar berbicara dalam batinnya.
Untuk menentramkan hati, Hajar memanjatkan doa kepada Alloh SWT, “Ya Alloh yang
Maha Agung lindungilah hambaMu. Dan berilah hamba ketabahan serta kesabaran
yang tinggi.” Sebentar saja perbekalan mereka habis. Tak ada air yang tersisa.
Ismail mulai menangis karena kelaparan dan kehausan. Hajar mencoba menyusuinya,
namun tak setetes pun ASInya yang keluar. Ia mulai panik. Ia mencoba memeras
kerudungnya, berharap ada keringatnya yang bisa diminum Ismail, tapi
keringatnya pun kering. Ia meletakkan putranya di tanah.
“Anakku, tunggulah di sini. Ibu akan mencoba mencari air. Mudah-mudahan di
bukit itu ada mata airnya,” kata Hajar. Lalu ia berlari-lari kecil mendaki
bukit Shofa hingga ke puncaknya. Alangkah kecewanya ia, karena tidak setetes
air pun yang ditemukannya. Dari puncak bukit Shofa ia melihat bahwa di bukit
satunya (bukit Marwah) sepertinya ada mata air. Maka ia kembali berlari
menuruni bukit Shofa dan mendaki bukit Marwah. Namun ternyata yang dilihatnya
hanyalah fatamorgana. Tak ada air di sana. Bukit itu sama tandusnya.
Tiba-tiba ia melihat bahwa di bukit Shofa ada mata air.
Segera ia kembali menuju bukit Shofa dan menemukan bukit itu tandus. Ia terus
berlari bolak-balik antara Shofadan Marwah hingga tujuh kali. Inilah nantinya
yang dalam ibadah haji disebut Sa’i. Hajar sangat kelelahan dan hampir putus
asa. Tiba-tiba ia melihat Ismail yang masih menangis, menghentak-hentakkan
kakinya ke tanah. Dari hasil hentakkannya itu keluarlah air yang memancar.
Hajar segera berlari mendekati anaknya. Air iu memancar deras dan menyebar
kemana-mana.
“Zam zam!” kata Hajar yang artinya ‘berkumpullah’.
Air itu kemudian berkumpul dan membentuk sebuah genangan yang luas. Dengan
gembira Hajar memberi minum putranya hingga kenyang, lalu ia pun minum untuk
menghilangkan dahaganya.
——-
Mimpi Nabi Ibrahim AS
Pada waktu itu para pedagang sering melintasi padang gurun
tersebut. Mereka terkejut dengan kemunculan kolam mata air itu. Terlebih lagi
melihat keberadaan Hajar dan Ismail di tempat itu.
“Nyonya, kami adalah rombongan pedagan yang akan pergi ke negeri jauh.
Ijinkanlah kami beristirahat dan mengisi perbekalan air kami,” kata ketua
rombongan.
“Tentu saja anda boleh. Ambillah air hadiah dari Alloh ini. Tapi bolehkah kami
meminta sedikit makanan untuk kami?” kata Hajar.
“Dengan senang hati,” kata ketua rombongan. Lama-kelamaan semakin banyak
pedagang yang lewat dan mampir di air Zamzam untuk mengisi perbekalan. Hajar
dan Ismail dianggap sebagai pemilik air Zamzam tersebut. Bahkan mereka
membangunkan tempat tinggal untuk mereka berdua. Kemudian banyak dari pedagang
dan musafir yang meminta izin untuk menetap sehingga tempat itu menjadi
perkampungan yang ramai dan subur. Hajar dan Ismail tidak sendiri lagi. Maha
kuasa Alloh yang telah menjawab doa hambaNya. Beberapa tahun kemudian, Nabi
Ibrahim AS datang untuk mengunjungi istri dan anaknya. Ia sangat heran melihat
perubahan yang terjadi.
“Ki sanak, apakah di tempat ini ada seorang perempuan bernama Hajar dan
putranya Ismail?” tanya Nabi Ibrahim AS kepada seorang penduduk.
“Oh tentu saja. Mereka adalah pemilik sumur Zamzam. Mereka biasanya sedang
menggembalakan ternaknya di Arofah,” jawab penduduk.
“Terima kasih,” kata Nabi Ibrahim AS. Akhirnya Nabi Ibrahim menemukan istri dan
anaknya yang sedang menggembala. Mereka berpelukkan dengan bahagia.
“Bagaimana kabarmu istriku?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“Alhamdulillah, Alloh selalu melindungi kami,” jawab Hajar. “Ini adalah Ismail
putramu. Nak ini adalah ayahmu.”
Ismail mencium tangan Nabi Ibrahim AS.
“Maafkan ayahmu nak. Karena telah meninggalkan kalian begitu lama,” kata Nabi
Ibrahim AS.
“Tidak apa-apa ayahanda. Itu sudah takdir Alloh,” jawab Ismail bijak.
“Mari kita pulang ke rumah. Pastinya engkau capai dan ingin beristirahat,” ajak
Hajar.
“Baiklah,” kata Nabi Ibrahim AS.
——-
Perintah Berqurban
Mereka segera beranjak dari Arofah. Namun setibanya di
Mudzdalifah Nabi Ibrahim AS mengajak mereka untuk beristirahat sejenak. Saking
capainya mereka ketiduran. Saat itu Nabi Ibrahim AS bermimpi. Dalam mimpinya ia
merasa mendapatkan perintah dari Alloh untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim
AS terbangun dengan terkejut.
“Astaghfirulloh,” kata Nabi Ibrahim AS dalam hati. “Mungkinkah setan yang telah
memberiku mimpi buruk?” Namun esok malamnya, mimpi itu terulang kembali hingga
tiga kali. Akhirnya ia membicarakan hal itu kepada Ismail.
“Nak, sesungguhnya ayah telah bermimpi sebanyak tiga kali. Dan dalam mimpiku,
Alloh memerintahkanku untuk menyembelihmu. Bagaimana menurut pendapatmu?” tanya
Nabi Ibrahim AS.
“Ayahku, jika memang mimpi itu perintah Alloh, maka laksanakanlah. Insya Alloh
engkau akan mendapatiku sebagai anak yang berbakti dan sabar,” jawab Ismail.
Nabi Ibrahim AS sangat bersedih hingga menitikkan air mata.
Bagaimana tidak, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kini ia harus
menyembelih putera tercintanya. Ismail memantapkan hati ayahnya. Maka esoknya
Ismail berdandan dengan baju terbaiknya. Kepada Hajar mereka pamit untuk
berjalan-jalan. Di tengah jalan mereka bertemu seseorang..
“Hai Ibrahim. Betapa kejam hatimu hingga tega menyembelih anakmu sendiri,”
katanya.
Nabi Ibrahim AS segera menyadari siapa yang menegurnya. Ia mengambil batu
kerikil dan melempari orang itu. Kelak inilah yang dalam ibadah haji disebut
Jumratul Ula.
“Dengan nama Alloh pergilah kau setan,” kata Nabi Ibrahim AS.
Setan itu pun lari ketakutan dan menghilang. Lalu muncul lagi
orang yang kedua. Ia pun mengatakan hal yang sama dan Nabi Ibrahim AS
melemparinya dengan batu juga. Inilah yang disebut Jumratul Wustha. Muncul lagi
yang terakhir yang juga dilempari batu oleh Nabi Ibrahim AS. Yang ini disebut
sebagai Jumratul Aqobah. Kemudian sampailah mereka di bukit Mina tempat Nabi
Ibrahim AS akan menyembelih Ismail.
“Nak, benarkah kau ikhlas dengan perintah Alloh ini?” tanya
Nabi Ibrahim AS.“InsyaAlloh,” jawab Ismail. “Tapi aku meminta padamu untuk
meringankan deritaku. Ikatlah kedua tangan dan kakiku. Tutuplah mukaku dengan
baju ini. Percepatlah gesekan pedangmu. Lalu sampaikan salam dan berikan
pakaianku kepada ibuku untuk kenang-kenangan.”
“Baik anakku. Aku akan melakukan permintaanmu,” kata Nabi Ibrahim AS dengan
hati hancur. Ismail berbaring terlentang di atas sebuah batu, sementara pedang
Nabi Ibrahim AS telah berada di lehernya.
“Bismillahirrohmanirrohiim..” suara Nabi Ibrahim AS begitu gemetar.
Sesaat sebelum pedangnya menyentuh kulit Ismail, terdengar suara ghaib memecah
angkasa.
“Wahai Ibrahim kau telah membuktikan ketaatanmu kepada Alloh. Dan Alloh
berkenan memberimu balasan yang setimpal.”
Di depan Nabi Ibrahim AS kini berdiri sesosok malaikat yang bercahaya. Ia
menuntun seekor domba yang besar dan bagus.
“Allohu Akbar, Allohu Akbar..” salamnya.
“La Ilaaha Illalahu, Allohu Akbar..” sahut Nabi Ibrahim AS.
“Allohu Akbar, Walillahil Hamdu,” lanjut Ismail.
“Wahai Ibrahim. Alloh memerintahkan untuk mengganti kurbanmu dengan seekor
domba. Sembelihlah domba itu sebgaia ganti anakmu. Makanlah dagingnya dan
jadikanlah hari ini sebagai hari raya bagimu. Sedekahkanlah sebagian dagingnya
kepada fakir miskin. Demikianlah Alloh memberi balasan kepada orang-orang yang
taat,” kata Malaikat.
Nabi Ibrahim AS dan Ismail sangat gembira. Mereka menyembelih
domba tersebut dan membagi-bagikan sebagian dagingnya kepada fakir miskin.
Begitulah asal mula adanya Hari Raya Idul Adha atau Hari raya Qurban atau
disebut juga Hari Raya idul adha.
B.Taqwim bulan Qomariyah
Seperti yang telah kita ketahui
bahwa penanggalan Hijriah (Kamariyah) pada hakikatnyang menggunakan refrensi
peredaran bulan, ini lain halnya dengan penanggalan Masehi (Syamsiyah) yang
menggunakan refrensi peredaraan matahari sebagai acuan. Dalam diskursus falak,
penentuan awal bulan Kamariyah ini lebih banyak mendapatkan perhatian,
disebabkan banyaknya perbedaan variabel hasil yang berimplikasi terhadap
perbedaan penentuan awal bulan tersebut.
Perbedaan
variabel hasil ini tidak lain disebabkan banyaknya metode, data hisab serta
kriteria yang digunakan. Secara rasional, dari metode dan data yang berbeda
pasti akan diperoleh hasil yang berbeda pula. Oleh karena itu, beralih dari
polemik yang cukup besar, secara umum dalam hisab kontemporer, untuk menentukan
awal bulan Kamariyah dibutuhkan beberapa langkah untuk mendapatkan hasil.
Diantaranya, melakukan konversi dari tanggal Hijriah ke Masehi secara urfi, hal
ini dilakukan untuk memperkirakan kapan ijtima’ itu akan terjadi. Tentunya bagi
bagi orang awam, istilah ijtima’ ini menjadi persoalan yang butuh jawaban. Maka
dari itu, pada kesempatan kali ini akan sedikit dibahas istilah ijtima’ serta
hal-hal yang berkaitan dengan ijtima’.
Hikmah
yang dapat diambil dari pelaksanaan shalat Idul Adha, bahwa hakikat manusia
adalah sama. Yang membedakan hanyalah taqwanya. Dan bagi yang menunaikan ibadah
haji, pada waktu wukuf di Arafah memberi gambaran bahwa kelak manusia akan
dikumpulkan dipadang mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban.